Selasa, 23 Agustus 2011

mengoreskan surat untuk perjuangan

Kawan-kawan mahasiswa setanah air masih ingatkah kalian. Mulai dari kebijakan hak pekerja dan buruh kontrak, konversi minyak dengan mengucurkan dana lewat hutang luar negeri, kebijakan pasar bebas dunia, kecurangan pemilu lewat dana pejabat BUMN, dan lain-lain. Barangkali kawan-kawan juga sudah mulai bosan dengan berita penanganan konspirasi bailout century yang merupakan sebagian kecil mata rantai untuk menunjukkan kepada busuknya pemerintahan demokrasi negeri ini.
Sesungguhnya hal-hal tersebut mungkin tidak berdampak besar bagi kita, mahasiswa yang masih ditanggung hidupnya oleh kedua orang tua dan belum menangung kewajiban sebuah keluarga.
“Tahu apa kita dengan urusan belanja ibu untuk makan sekeluarga ?”
“Apa kita juga tahu sang ayah bekerja membanting tulang untuk mensejahterakan anak-anaknya ?”
Mungkin kita tidak tahu hal itu karena saat ini kita masih saja disibukkan oleh kuliah, kegiatan hura-hura kampus, ataupun ngerumpi di kantin. Bukankah kita manusia memiliki hati nurani, saat kita lihat di kemacetan jalan bocah-bocah kecil mengais sedekah dengan suaranya yang mungil, ibu-ibu menggendong bayinya meminta harapan dari balik kaca mobil-mobil mewah.
“Mungkinkah dengan pemberian seribu rupiah dari kita, mereka dapat keluar dari kemelaratan hidup?”
Ataupun kita memiliki persepsi yang sama;
“Kenapa mereka mau bekerja seperti itu? Sampai tahun jebot pun bekerja demikian tak akan membawa mereka menjadi sejahtera”
Atau,
“Siapa suruh jadi orang miskin dan malas?”
Ya Gusti, sungguh teganya mulut kita menerkam bagai anjing gila. Kita bukan saja layaknya anjing gila, tapi bahkan hantu belau tak menapak yang lupa akan daratannya. INGATLAH ! bahwa kelas sosial kita sebagai mahasiswa yang dipersiapkan menjadi pemimpin masyarakat tertindas. Mereka menunggu kita untuk mengawal mereka bertindak melawan sistem negeri ini yang tak berpihak bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
KINI SAATNYA KITA BERBAKTI UNTUK IBU PERTIWI, UNTUK AYAH DAN IBU, UNTUK BOCAH KECIL DAN IBU-IBU YANG MENGAIS MAKAN DI JALANAN. SAAT SISTEM HARI INI TIDAK LAGI MEMIHAK MASYARAKATNYA, SAAT PEMIMPIN KITA DISIBUKKAN UNTUK MENGISI PERUT GENDUTNYA, HANYA ADA SATU KATA : “LAWAN”
Kawan, inilah persembahan dariku untukmu. Mungkin juga surat ini surat yang terakhir dariku untuk kalian karena besok atau lusa atau minggu depan atau sampai kapan pun, aku tetaplah seorang demonstran. Aku akan berada di garda paling depan untuk menghantarkan suara-suara rintihan keluargaku yang ada di jalanan. Aku tak peduli, bila nanti aku tumbang, saat mengulurkan tangan kiriku menggenggam sang merah putih dikolong langit nan indah bumi pertiwi ini, aku akan tetap tegar berdiri dan berteriak menghadang lawanku di depan sana. Sekompi polisi yang menghadang membentengi penguasa gila di istananya sekalipun akan aku lawan. Karena barang siapa yang menghalangi aku untuk mencapai perubahan adalah musuh bagiku.
Barangkali persepsi kalian aku ini gila, ku sia-siakan hidup ini untuk suatu hal tak masuk akal bagi kalian. Aku ingat, saat aku menginjak dewasa umur 17 tahun di tahun 2008 kemarin, aku mencari tahu kenapa aku harus ada di bumi ini? Mengapa aku dilahirkan oleh keluarga bahagia ini dalam sulitnya hidup di Jakarta?
Inilah aku sang MANUSIA, bagian dari spesies Homo Erectus (manusia berpikir). Yang ku tahu, bahwa manusia bisa mati kapan saja sesuai kehendak-Nya. Tapi untuk apa aku hidup kalau selama hidupku tidak pernah membahagiakan sesamaku, untuk apa aku hidup kalau aku tidak berguna bagi Tuhan, bagi negara, bagi keluarga, bagi sesama manusia, dan bumi beserta seluruh isinya.
Aku harap jika tiba saatnya nanti, setidaknya aku pernah membahagiakan kalian, aku pernah berguna untuk ibu pertiwi ini, untuk keluargaku, dan untuk sesamaku. Aku pun tahu dari ibu, saat aku dilahirkan di sebuah bidan kecil, ayah mencari kesana-kemari biaya persalinan kelahiran anak laki-laki pertamanya. Untung saja, lewat Jeri payah usaha ayahku pada masa itu, aku dilahirkan sehat walafiat. Aku tumbuh berkembang oleh pendidikan keluarga yang mandiri, pelajaran kewarganegaraan yang lebih banyak aku dapat daripada di sekolah. Tidak salah lagi, bahwa kedua orangtua ku mengharapkan aku tumbuh sebagai manusia yang berguna bagi sesama.
“Soekarno boleh mati, Soe Hok Gie boleh mati, Che Guevara boleh mati, Yap Yun Hap boleh mati, Gus Dur juga boleh mati, tapi sampai saat ini jasad merekalah yang sudah mati bukan perbuatan mereka yang akan selalu dikenang selamanya”
PERNAH ADA SEORANG DI BUMI INDONESIA INI!!!

image
image
@bagusraditya78  


Baguz Raditya

creative By :
Nurahmanu Bagus Fajar Raditya  (Kadept. INFOKOM dan Sosiologi Pembanggunan FIS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar