Rabu, 24 Agustus 2011

Akankah Kesejahteraan Hanya Sebatas Impian?

Pengamen jalanan, pedagang asongan, pengemis harian, serta berbagai macam profesi ‘ahli’ yang penghasilan per-bulannya berada di bawah garis kemiskinan merupakan pemandangan biasa yang sering kita lihat di persimpangan ibu kota. Hal tersebut adalah salah satu bukti bahwa kemiskinan masih melanda bangsa dan negara kita, Indonesia tercinta. Negara yang katanya memiliki luas daerah terbesar ke-empat se-dunia, memiliki jumlah penduduk terbesar ke-tiga se-dunia, memiliki begitu banyak keanekaragaman hayati, serta memiliki sumber daya alam yang melimpah, ternyata sebagian besar rakyatnya masih merasakan pahitnya kehidupan.
Amanat yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945 sepertinya belum dilaksanakan secara maksimal oleh pemerintahan. Berbagai macam kontrak kerja sama dengan pihak asing yang seharusnya bersifat simbiosis mutualisme tidak diindahkan keberadaannya dan cenderung menguras sumber daya alam kita. Begitu pula dengan berbagai kasus illegal logging yang pada tahun 2008 lalu hanya menyisakan 25% dari total kawasan hutan yang ada di Indonesia. Belum lagi kita harus menanggung seluruh kerusakan alam sebagai akibat dari tidak adanya regulasi terhadap UU yang mengaturnya.
Semua karena hasil dari korporatokrasi. Inilah yang menarik perhatian saya, setelah membaca buku terkait dengan apa itu korporatokrasi, pikiran saya mulai terbuka. Mengapa hingga saat ini Indonesia belum bisa dikatakan sejahtera, padahal di satu sisi kita adalah negara yang kaya. Korporatokrasi. Itulah jawabannya. Korporatokrasi, menurut wikipedia, dilukiskan sebagai sistem kekuasaan yang dikontrol oleh berbagai korporasi besar, bank-bank internasional, dan pemerintahan. Atau menurut M. Amien Rais dalam bukunya “Agenda-Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia!”, korporatokrasi merupakan sistem atau mesin kekuasaan yang bertujuan untuk mengontrol ekonomi dan politik global yang memiliki 7 unsur, yaitu: korporasi-korporasi besar; kekuatan politik pemerintahan tertentu, terutama Amerika dan kaki tangannya; perbankan internasional; kekuatan militer; media massa; kaum intelektual yang dikooptasi; dan terakhir, yang tidak kalah penting adalah elite nasional negara-negara berkembang yang bermental inlander, komprador, atau pelayan. Dan sayangnya, elite nasional Indonesia sepertinya cenderung bermental inlander.
Bayangkan saja, entah apa yang ada di dalam pikiran para pemegang kekuasaan di negeri ini, mungkin karena kurang puas dengan kebodohan Kontrak Karya II Freeport yang baru akan berakhir pada tahun 2041, dengan mudahnya kita mengulang kesalahan yang dilakukan sehingga Kontrak Kerja Sama Blok Cepu berlaku hingga tahun 2036. Setiap kebijakan yang dilakukan justru lebih menguntungkan pihak asing dibandingkan bangsa sendiri. Tak bisa dibayangkan berapa banyak kekayaan alam Indonesia yang telah dikuras habis-habisan dan berapa banyak rupiah yang harus kita keluarkan untuk memulihkan keadaan alam itu seperti semula.
Mental dan moral pemimpin Indonesia sepertinya memang harus dirombak ulang. Mungkin ini semua akibat dari hutang negara yang tak ada ujungnya, sehingga elite nasional kita merasa tertekan dengan ancaman para korporasi besar. Bahkan pemberian pinjaman menjadi suatu kebanggaan bahwa negara kita masih dipercaya oleh mereka, dan entah kenapa kita jadi merasa berada di posisi yang ‘aman’. Hutang Indonesia masih ‘aman’, kira-kira begitulah cuplikan dari line news salah satu stasiun televisi swasta. Sungguh miris membacanya. Hutang yang harus ditanggung sekitar 10 juta oleh setiap bayi yang baru lahir di Indonesia justru dianggap masih berada di posisi yang ‘aman’.
Mungkin akibat dari syndrome peminjam uang itulah para elite nasional kita jadi bermental inlander, mental pelayan. Melayani setiap kemauan para korporasi. Menuruti setiap perkataan sang majikan -padahal perlu ditegaskan bahwa rakyat Indonesia lah majikan yang sebenarnya- sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil pun harus atas persetujuan sang majikan. Privatisasi BUMN salah satunya. BUMN yang notabenenya harus dikelola demi peningkatan pendapatan negara, harus rela kita swastanisasi kepada pihak asing yang tujuan mutlak hidupnya adalah mencari keuntungan. Setelah menyadari bahwa keuntungan yang kita dapat jika kita mengelolanya sendiri lebih besar, barulah kita menyesal dan berusaha mencari jalan untuk mendapatkan kembali BUMN tersebut, jalan yang ternyata tidak ada ujungnya.
Terakhir, yang paling berbahaya dari itu semua adalah state capture corruption atau korupsi yang menyandera negara. Korupsi yang menyandera negara inilah yang telah melenyapkan harapan bangsa untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan tanpa ujung, korupsi yang justru dilakukan oleh pemerintahan, yang pemberantasannya tidak dapat dilakukan kecuali berasal dari hati nurani pemerintahannya sendiri. Dan kita hanya dapat berharap hal itu bisa terjadi, jika tidak mau dikatakan tidak mungkin dapat terjadi.
Oleh karena itulah, sebagai generasi penerus bangsa yang notabene akan melanjutkan kegiatan pemerintahan, sudah sepatutnya kita mempersiapkan diri untuk membenahi Indonesia yang kenyataannya saat ini masih jauh dari kategori negara maju. Agar Indonesia tidak hanya menjadi boneka bagi kepentingan korporasi asing, agar suatu saat nanti Indonesia akan merindukan suara nyaring pengamen jalanan, agar kesejahteraan itu tidak hanya sebatas impian.

 Creative By :
Titia Rakhmawati (Pendidikan Matematika FMIPA dan Green Force)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar